Media Pari||www.media-pari.com
Kabupaten Bekasi Sabtu 30/08/2025.

Cibarusah-Aku anak desa, yang mencoba hidup merantau di Jawabarat tepat nya salah satu kota ,Cikarang aku terlahir dari seorang bapak yang kerja nya hanya lah seorang petani biasa.
Petani desa yang tak pernah mendapatakan teori-teori pertanian di bangku kuliah.
Petani kuno yang menanam padi sesuai dengan tradisi desa yang turun-temurun. Aku kagum dengan petani-petani desa, terutama dengan bapakku, Dia punya filosofis yang menakjubkan.
“Sejak dulu hingga sekarang, petani selalu menjadi masyarakat yang tingkat ekonominya menengah ke bawah.
Tapi kenapa kami tak berganti profesi.
Karena petani bahagia bisa melihat padi yang ditanam bisa tumbuh dengan hijaunya.
Itu sama dengan menghidupkan satu nyawa,” begitu kata bapakku suatu waktu.
Yang buatku kagum dengan petani lagi karena mereka tak pernah risau dengan pergantian penguasa negara, tak iri melihat DPR yang digaji negara dan korupsi.
Pagi-pagi buta setelah berzikir sholat subuh, para petani sudah melangkahkan kakinya ke sawah.
Hasil panen mereka tergantung kerajinan dan keuletan dalam bertani.
Beda jauh dengan DPR.
Malas atau tidak dalam bekerja, gaji yang mereka dapatkan pun sama dan bahkan naik.
Sementara ibuku hanya ibu rumah tangga biasa.
Wanita pedesaaan yang selalu setia menyeduhkan kopi maupun teh untuk suaminya.
Tiap pagi sebelum sang suami pergi ke sawah.
Sama seperti bapak, ibuku menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga tanpa teori-teori modern.
Ibuku tak kenal feminisme atau isu gender,Tapi dia bisa menjadi ibu yang baik untuk suami dan anak-anaknya.
Bapak dan ibuku sejak lahir beragama Islam karena dalam lingkungan Islam.
Keduanya cukup taat agama.
Bisa dilihat dari sholat lima waktu yang dijalankan rutin meski jarang jamaah karena memang lumayan jauh juga dari musholla kampung .
Ajaran Islam yang didapatkan oleh bapak dan ibuku didapatkan dari ustad dan kiai kampung.
Ajaran Islam dapat dilakukan bak sebuah tradisi.
Tahlil rutin, yasinan rutin dan kegiatan rutin lainnya sampai sekarang masih berjalan di desaku meski mereka, warga kampungku tak mengenal pemikir Islam modern semacam Jamaluddin al Afghani, Fazlur Rahman, Muhammad Abduh, Muhammad Arkoun dan Nurcholis Madjid. Apalagi tokoh-tokoh pemikir Barat seperti Karl Marx, Max Webber, Emile Durkheim dan Habermas.
Tak satu pun yang mereka kenal, kecuali wali songo.
Inilah kisah nyata yang aku tuangkan di media cetak online sebagai rasa prihatin ku kepada negara Republik Indonesia ini semoga yang membaca bisa menjadikan inspirasi untuk tongkat penopang dalam perjalanan menuju kesuksesan. Salam satu pena.
(Fariz)